dikasihi [1]

Suara yang lembut dan halus yang menyebut aku sebagai yang dikasihi, sampai kepadaku dengan berbagai cara yang tak terhitung macamnya. Orangtuaku, kawan-kawan, guru, mahasiswa-mahasiswi dan orang lain yang pernah melintas dalam kehidupanku, semua menyuarakan suara itu dengan nada yang berbeda-beda. Sangat banyak orang dengan kasih dan kelembutan memberikan perhatian kepadaku. Aku diajar dan dididik dengan kesabaran dan keteguhan hati. Aku didukung untuk terus maju pada saat aku akan berhenti, dan didorong untuk mencoba lagi pada saat aku gagal. Aku dipuji dan diberi ucapan selamat pada waktu aku berhasil…namun toh semua tanda kasih ini tidak cukup untuk meyakinkan diriku bahwa aku dikasihi.

 

Di balik penampilanku yang kelihatannya percaya diri, tersembunyi pertanyaan, “Kalau semua orang yang menyirami hidupku dengan begitu banyak perhatian dapat melihat dan mengetahui diriku yang sesungguhnya, apakah mereka akan tetap mengasihi aku?” 

 

Pertanyaan yang menyesakkan ini, yang berakar dalam batinku yang gelap, terus-menerus mengejarku dan membuat aku lari dari tempat asal suara lembut yang menyebut aku sebagai yang dikasihi dapat didengar. 

 

Aku yakin engkau menangkap apa yang kubicarakan ini. Bukankah seperti halnya aku, engkau juga mengharapkan seseorang, sesuatu atau suatu peristiwa akan melintas dalam kehidupan dan memberikan kedamaian batin lestari yang nengkau harapkan? Bukankah engkau sering berharap, “Semoga buku, gagasan, kursus, perjalanan, pekerjaan, atau hubungan ini dapat memenuhi keinginan hatimu yang paling dalam?” Namun selama engkau menungguh datangnya saat yang misterius itu, engkau lari ke sana ke mari, selalu merasa cemas dan tidak tenang, penuh nafsu dan marah, tidak pernah merasa puas sutuhnya. Engkau tahu, inilah yang disebut kompulsi yang membuat kita terus maju dan sibuk, tetapi sekaligus membuat kita bertanya-tanya kita akan sampai ke mana, Inilah langkah yang membawa orang sampai pada kekeringan rohani dan merasa diri “habis”. Inilah jalan menuju kematian rohani. 

 

Engkau dan aku tidak perlu mematikan diri. Kita adalah orang-orang yang dikasihi. Kita sudah sangat dikasihi jauh sebelum orangtua, guru, suami atau istri, anak-anak, dan kawan-kawan mengasihi atau melukai kita. Inilah kebenaran hidup kita. Inilah kebenaran yang kuharapkan kauyakini. Inilah kebenaran yang dinyatakan oleh suara yang berkata, “Engkau kukasihi.”

 

(bersambung…)

sumber: Henri J.M. Nouwen, Engkau Dikasihi: Pegangan Hidup dalam Dunia Modern, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995, 22 – 23

penolakan diri [2]

Mungkin engkau berpikir, bahwa engkau lebih digoda oleh kesombongan daripada oleh penolakan diri. Tetapi, bukankah sebenarnya kesombongan adalah sisi lain penolakan diri? Bukankah kesombongan menyelimuti dirimu dengan pujian, agar orang tidak melihat dirimu sebagaimana engkau sendiri melihatnya? Bukankah akhirnya kesombongan adalah bentuk lain dari perasaan tidak berguna? Baik penolakan diri maupun kesombongan menjauhkan diri kita dari realitas keberadaan kita yang sama, dan mempersulit atau bahkan tidak memungkinkan terbentuknya komunitas yang bersahabat. Aku sungguh-sungguh menyadari, bahwa di balik kesombonganku tersembunyi rasa tidak percaya diri, seperti halnya di balik penolakan diriku tersembunyi kesombonganku. Baik ketika aku sedang berjaya maupun ketika aku sedang tersuruk, aku terpisah dari benearan diriku dan pandanganku mengenai kenyataan terganggu. 

 

Kuharap engkau mulai dapat melihat godaan penolakan diri yang ada dalam dirimu, entah dalam bentuk kesombongan atau rasa tidak percaya diri. Tidak jarang penolakan diri hanya dilihat sebagai ekspresi neurosis orang yang tidak yakin akan dirinya. Namun neurosis seringkali merupakan pernyataan psikis dari kekalutan hidup manusia yang lebih dalam: kalut karena merasa tidak sungguh-sungguh diterima dalam lingkungan umat manusia. Penolakan diri adalah musuh paling besar bagi kehidupan rohani karena berlawanan dengan suara adikodrati yang menyatakan diri kita sebagai yang “dikasihi”. Diri kita sebagai yang dikasihi menyatakan inti kebenaran keberadaan kita. 

 

(bersambung…)

sumber: Henri J.M. Nouwen, Engkau Dikasihi: Pegangan Hidup dalam Dunia Modern, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995, 20 – 21.

penolakan diri

hadiah paling besar yang dapat kita berikan pada sahabat kita adalah ini: bahwa “engkau dikasihi”. Aku dapat memberikan hadiah itu hanya kalau aku sendiri merasakannya. Bukankah itu hakikat persahabatan: saling memberikan pengalaman bahwa kita sungguh dikasihi?

 

Ya, ada suara itu, yang datang dari atas dan dari dalam, berbisik lembut namun jelas: “Engkau Kukasihi, kepadamu Aku berkenan.” Pasti tidak mudah mendengarkan suara seperti itu di tengah-tengah dunia yang penuh dengan suara kasar: “Engkau bodoh, jahat, tak berguna, tercela, hina; engkau tidak diperhitungkan–kecuali kalau engkau dapat membuktikan yang sebaliknya.”

 

Suara-suara sumbang ini begitu keras dan terus-menerus terdengar sehingga kita mudah percaya kepadanya. Inilah perangkap yang sangat kuat: penolakan diri. Sudah lama aku sadar bahwa perangkap yang paling besar dalam kehidupan kita bukanlah keberhasilan, popularitas atau kekuasaan, melainkan penolakan diri. Keberhasilan, popularitas dan kekuasaan dapat menjadi godaan yang besar. Namun seringkali itu semua mempunyai kekuatan yang menyesatkan karena merupakan bagian atau berhubungan dengan godaan yang lebih luas yaitu penolakan diri. Kalau akhirnya kita percaya pada suara-suara yang mengatakan bahwa kita tidak berguna, tidak patut dihargai dan dicintai, maka keberhasilan, popularitas, dan kekuasaan dengan mudah dianggap sebagai jalan keluar yang mudah. Namun perangkap yang sesungguhnya adalah penolakan diri. Aku heran mengapa aku sendiri begitu cepat menyerah pada godaan ini. Kalau ada orang yang menuduh atau mengkritik aku, kalau aku ditolak, ditinggalkan dan diabiarkan sendirian, aku lalu berpikir: ‘sekarang semakin jelas bahwa aku tidak diperhitungkan.” Aku tidak mencoba bersikap kritis terhadap keadaan atau berusaha untuk memahami keterbatasanku sendiri dan orang lain, tetapi menyalahkan diriku sendiri – bukan menyalahkan tindakan-tindakanku, tetapi diriku. Sisi hidupku yang gelap mengatakan: “Aku tidak berguna..pantas kalau aku dikesampingkan, dilupakan, ditolak dan ditinggalkan.”

(bersambung…)

 

sumber: Henri J.M. Nouwen, Engkau Dikasihi: Pegangan Hidup dalam Dunia Modern, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995, 19 – 20.