Orang yang girang tertawa terpingkal-pingkal sering mencucurkan air mata. Orang yang sedih mencucurkan air mata juga. Orang menangis karena penderitaan yang berat, tapi dalam saat kebahagiaan yang sangat dalam manusia menangis juga. Sangatlah biasa orang tertawa bila sedang bahagia, tapi dalam saat-saat kehancuran jiwa, ketika segala harapan terasa berpuing-puing, sering manusia tertawa. tertawa pahit.
Saat jiwa meluap dan raga jasmani terlalu terbatas untuk memuat rasa, pecahlah tangis ataupun ketawa. Bila orang malu atau grogi, bila anak ditanya dan tidak sanggup menajwab, bila kita sedang buntuk mencari penyelesaian soal, bila orang gugup tidak tah apa yang harus dikatakan, bila kita sedang macet atau menyerah pada suatu banjir persoalan, maka perisai timbul dan tanggul kita buat spontan sebagai pelindung terakhir: menangis atau tertawa.
Ada tawa yang berasal dari hati yang baik. Ada tawa yang berakar pada lumpur kedosaan. Tawa yang jahat itu mengejek, memojokkan, dan mengolok-olok orang lain. Tawa orang jahat timbul dari suatu ketakutan yang terselubung dan tertawa hanyalah merupakan suatu topeng belak, topeng ketakutan terhadap kekalahan.
Tawa manusia yang dekat dengan Allah itu seperti tawa anak-anak:merdeka, bersih, mengharukan, tanpa ancaman. Ia mampu tertawa bersama orang lain yang bergembira hati, terlebih ia mampu menertawakan kebodohan dirinya sendiri. Ia bisa tertawa dan terlebih lagi ia bisa menertawakan diri sendiri. Itulah orang merdeka. Tertawa yang datang dari hati itu tidak mengutuk tapi menolong.
Suatu saat kita akan alami bahwa antara tertawa dan menangis tidaklah ada jurang.
sumber: Y.B. Mangunwijaya, “Ragawidya: Religiositas Hal-hal Sehari-hari”. Kanisius. 1986.