Lilin Bernyala

IMG_0254

Ada deretan lilin bernyala dan lelehan lilin terserak di bawahnya di Gereja St. Antonius Padua, Yogyakarta. Foto ini saya ambil pada tanggal 30 Juli 2019, saat saya bersama tujuh teman diakon sedang gladi resik untuk tahbisan imamat kami pada keesokan harinya. Saat itu sambil melihat lilin itu, saya membatin: Jika saya bisa bersinar sampai saat ini, itu karena ada pengorbanan dari orang lain.

Setiap lilin mewakili doa-doa permohonan dan syukur. Nyala api itu mengingatkan saya pada kehadiran Roh Kudus yang sering dilukiskan dengan lidah api yang bernyala di atas kepala para murid pada peristiwa Pentekosta. Ada banyak nyala api, tapi semuanya berasal dari satu Roh. Ada doa yang bhineka ditujukan pada Allah yang Eka. Itulah gereja, kita berbeda tetapi disatukan oleh Roh yang satu dan sama.

Dalam hidup sepertinya lebih mudah untuk berkutat pada pertanyaan: “apa yang berbeda di antara kita?”, daripada “apa yang bisa menyatukan kita?” Kita bisa mengambil lilin itu dan menggunakan terangnya untuk menuntun langkah kita dalam kegelapan. Demikian pula di dalam peziarahan hidup, kita menggunakan terang Roh Kudus untuk memandang realitas di sekitar kita. Jika dunia melihat ideologi Kiri dan Kanan, Konservatif dan Progresif, Hitam dan Putih, untung dan rugi, Roh melihat semuanya sebagai satu identitas: anak-anak yang berasal Allah yang satu dan sama.

Jika kita melihat lelehan lilin yang terserak di bawah itu, itulah rahasia dari kesatuan kita, yaitu pemberian diri. Roh Kudus sejatinya adalah pemberian. Dengan memberikan dirinya, Roh menjaga kesatuan kita. Itulah Allah yang kita imani, bukan Allah yang merampas milik kita, melainkan Allah yang memberikan diriNya untuk kita. Demikianlah Gereja lahir karena pemberian dan bertumbuh karena memberikan dirinya bagi orang lain.

 

Tanda Abu di Kening

Rabu Abu

Pemberian abu di kening dalam Misa Rabu Abu, 26 Februari 2020 di Kapel Le Cocq, SMA YPPK Adhi Luhur, Kolese Le Cocq d’Armandville, Nabire, Papua.

Minggu Pentekosta, 31 Mei 2020. Terhitung sudah 95 hari sejak Rabu Abu, 26 FebruariĀ  2020. Tanda Abu di kening yang diterima saat Rabu Abu rasanya masih belum hilang walau sudah dibasuh dengan mandi selama puluhan hari. Abu di kening itu adalah penanda arah jalan hidup kita, yaitu dari debu menuju pada kehidupan.

Abu di kening menjadi penanda identitas manusia, yaitu kita ini hanyalah debu. Kita ini lemah, rapuh, dan tidak kekal. Akan tiba saatnya kita mati dan menjadi tanah dan debu lalu hilang ditiup angin. Manusia memang debu, tetapi “debu yang dikasihi Allah (Paus Fransiskus, homili Rabu Abu 2020)”; debu yang berada di tangan Allah yang kepadanya Allah menghembuskan nafasNya dan memberi hidup. Lewat jari-jemariNya, debu ini diubah-Nya menjadi sesuatu yang menakjubkan.

Pada masa pandemi ini, hidup seperti melambat atau bahkan mandeg. Realitas di sekitar kita seperti menegaskan bahwa manusia hanyalah debu yang dalam sekejap bisa menjadi tidak berdaya dan bahkan mati. Segala rencana, usaha, dan cita-cita ikut mandeg, dan hilang sekejap dari genggaman seperti debu ditiup angin. Namun, kita perlu ingat bahwa memang benar kita ini debu, tapi debu yang dicintai oleh Allah. Di mata Allah, kekecilan kita dipandangnya sebagai kepunyaanNya yang paling mulia. Maka kita ucapkan mantra ini di dalam hati kita: Kita dilahirkan untuk dicintai, kita dilahirkan untuk menjadi anak-anak Allah.

Tanda abu di kening itu menjadi semacam mata ketiga, yang lewatnya kita diberi karunia untuk memandang manusia dan dunia sebagaimana Allah memandangnya. Dengannya, kita bisa melihat bagaimana Allah memandang kerapuhan, ketidakberdayaan, dan kematian. Di balik kerapuhan, ketidakberdayaan, dan kematian, ada harapan dan kehidupan baru. Dengan mata iman, kita percaya bahwa salib tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan, dan tidak ada kebangkitan tanpa salib. Di jalan salib kita membawa harapan dan mengalami kehidupan baru, dan di dalam kebangkitan, kita memanggul salib.

All Souls Day – Barangka Cemetery, QC

November 1st (All Saints Day) and 2nd (All Souls Day) are two of the most important days in the Spanish colonized countries such as Philippines. In the profane way, these days known as Halloween. Most of the youth in the other countries might ask you “what are you gonna be for Halloween?”. But here in the Philippines, they ask “what time should we meet at the cemetery?”. Most Filipino simply go to the cemetery visiting their relatives or families who have passed away and cleaning their tombs. They will stay at the cemetery for a few hours, or maybe even the whole day/night. The mood is usually happy and light, and it’s more a positive idea of remembering relatives who have passed away. This celebration shows how family oriented the Filipino culture.