Ada deretan lilin bernyala dan lelehan lilin terserak di bawahnya di Gereja St. Antonius Padua, Yogyakarta. Foto ini saya ambil pada tanggal 30 Juli 2019, saat saya bersama tujuh teman diakon sedang gladi resik untuk tahbisan imamat kami pada keesokan harinya. Saat itu sambil melihat lilin itu, saya membatin: Jika saya bisa bersinar sampai saat ini, itu karena ada pengorbanan dari orang lain.
Setiap lilin mewakili doa-doa permohonan dan syukur. Nyala api itu mengingatkan saya pada kehadiran Roh Kudus yang sering dilukiskan dengan lidah api yang bernyala di atas kepala para murid pada peristiwa Pentekosta. Ada banyak nyala api, tapi semuanya berasal dari satu Roh. Ada doa yang bhineka ditujukan pada Allah yang Eka. Itulah gereja, kita berbeda tetapi disatukan oleh Roh yang satu dan sama.
Dalam hidup sepertinya lebih mudah untuk berkutat pada pertanyaan: “apa yang berbeda di antara kita?”, daripada “apa yang bisa menyatukan kita?” Kita bisa mengambil lilin itu dan menggunakan terangnya untuk menuntun langkah kita dalam kegelapan. Demikian pula di dalam peziarahan hidup, kita menggunakan terang Roh Kudus untuk memandang realitas di sekitar kita. Jika dunia melihat ideologi Kiri dan Kanan, Konservatif dan Progresif, Hitam dan Putih, untung dan rugi, Roh melihat semuanya sebagai satu identitas: anak-anak yang berasal Allah yang satu dan sama.
Jika kita melihat lelehan lilin yang terserak di bawah itu, itulah rahasia dari kesatuan kita, yaitu pemberian diri. Roh Kudus sejatinya adalah pemberian. Dengan memberikan dirinya, Roh menjaga kesatuan kita. Itulah Allah yang kita imani, bukan Allah yang merampas milik kita, melainkan Allah yang memberikan diriNya untuk kita. Demikianlah Gereja lahir karena pemberian dan bertumbuh karena memberikan dirinya bagi orang lain.